Peluang Ekspor dari Tumang
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBAda pertimbangan simbolis pada penetapan Tumang sebagai lokasi peluncuran kebijakan pro IKM
Tumang merupakan salah satu pedukuhan di Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. Pada Senin (30/02), di pedukuhan yang terletak pada ketinggian 900 dpl ini diresmikan sebuah kebijakan proIKM (industri kecil menengah). Kebijakan yang dikemas dalam nama KITE (kebijakan impor tujuan ekspor) ini serasa angin sejuk bagi para pelaku industri ekpor. Harapannya dengan pembebasan sejumlah tarif kepabeanan itu, efisiensi biaya produksi bisa dihemat 20 - 25 persen. Penghematan di lini produksi itu dengan sendirinya akan menjadikan harga jual produk lebih kompetitif di pasar global. Sehingga bisa memberikan pertumbuhan. Selama ini, sumbangan ekspor produk IKM terhadap ekspor nasional masih dikisaran 20 persen. Bandingkan dengan Singapura dan Korea Selatan yang sudah mencapai 60 persen. Atau China yang sudah melampaui 70 persen.
Pelaku industri kecil tentu sangat apresiatif dengan kebijakan ini. Apalagi dalam persaingan yang semakin ketat tidak hanya soal efisiensi tapi juga dalam inovasi. Saat ini, hampir sebagian besar industri kecil produk-produk ekspor tidak lagi bisa berkreasi hanya dengan satu macam material dasar. Berbagai kombinasi dan asesoris sudah harus diikutkan dalam pembuatan sebuah produk. Kerajinan gerabah / keramik misalnya, sudah harus mengombinasikan produknya dengan logam (alumunium, stainless, kuningan) maupun berbagai jenis bahan finishing impor. Demikian juga dengan item-item furnitur, sudah harus memenuhi permintaan buyer dengan memadupadankan material kayu dan kaca (table top), resin (kaki-kaki, tekstur), maupun asesoris lain. Sayangnya, hampir semua bahan baku pendukung itu -sebagian karena memang diminta oleh buyer- masih harus diimpor.
Terkait dengan hal itu, penetapan Tumang sebagai lokasi peluncuran produk kebijakan pembebasan sejumlah bea masuk bahan baku impor tentu bukan tanpa pertimbangan simbolis. Tumang selama ini telah dikenal sebagai sentra industri kerajinan logam. Hampir 100 persen bahan baku utama industri kerajinan ini adalah impor. Sehingga dengan dipilihnya sentra industri yang berjarak sekitar 14 km dari kota Boyolali ini sekaligus penegasan akan keberpihakan pemerintah terhadap industri kecil. Hanya saja, sebagai sebuah kebijakan baru tentu ada beberapa hal yang masih membutuhkan penyesuaian dan pendukung dalam implementasinya.
Industri kecil, seperti yang dipaparkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), adalah pelaku bisnis dengan nilai kekayaan kurang dari 500 juta. Omzetnya pun tidak lebih dari Rp 2.5 miliar per tahun (kisaran Rp 200 juta / bulan). Artinya, masih ada barrier dalam kemampuan mengimpor bahan baku dalam jumlah minimal impor sekalipun. Sehingga fasilitas KITE ini belum akan bisa dengan mudah dinikmati. Sedangkan mekanisme antisipatif melalui konsorsium KITE, yaitu pembentukan badan usaha bersama, atau penunjukan badan usaha yang dirasa mampu dalam satu kawasan industri kecil, bisa juga dengan koperasi, masih berpotensi belum sepenuhnya bisa mengakomodir pengrajin. Sebab umumnya pengrajin, karena kreativitasnya (termasuk dalam efisiensi produksi), sering menggunakan bahan baku campuran bahkan KW (kualitas di bawah standar). Sehingga antara pengrajin satu dan lainnya di satu kawasan saja bahkan sangat mungkin berbeda spesifikasi untuk bahan baku sejenis. Belum lagi masalah ukuran, warna, berat, dsb. Dengan kata lain, akumulasi pembelian bahan baku untuk memenuhi minimum kuantiti sulit dilakukan karena sifat kebutuhan pengrajin yang customized.
Selanjutnya, lagi-lagi karena alasan efisiensi, hampir semua industri kecil masih mengandalkan manajemen minimalis. Pemilik (keluarga) bahkan seringkali merangkap sebagai marketing, shipping, kepala produksi, atau PPIC. Keberadaan KITE dengan demikian akan membutuhkan alokasi personil di internal. Kondisi ini kurang lebih menyerupai respon pengrajin kecil terhadap kebijakan SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu). Sebab selain harus menambah karyawan khusus juga sekaligus membereskan semua 'hutang' legalitas. Harus dimengerti bahwa banyak pengrajin kecil masih memilih 'menunda' kelengkapan legalitasnya. Salah satunya karena untuk mengurus legalitas lengkap akan membutuhkan ekstra 'energi'. Pada akhirnya hitungan global biaya operasi akan membawa pengrajin pada pilihan efisiensi terbaik. Sangat dimungkinkan efisiensi terbaik adalah tidak menambah karyawan. Jika ini yang terjadi maka fasilitas KITE menjadi kurang diminati.
Bagaimanapun, sebagai sebuah wujud keberpihakan pemerintah terhadap pelaku industri kecil, KITE layak didukung. Dukungan kongkret bisa dilakukan oleh dinas-dinas terkait dan asosiasi. Misalnya adalah dengan jemput bola ke pengrajin untuk memfasilitasi pengurusan kekurangan legalitas. Sekecil apapun pengrajin, masih tetap berhitung dalam untung-rugi antara waktu untuk mendatangi dinas perijinan terkait dan bekerja mengurus dapur sendiri. Saatnya dinas-dinas perijinan terkait menggerakkan personilnya untuk bangkit berdiri dari kursi empuk di belakang meja pelayanan menuju sentra-sentra industri rumahan.
Demikian pula asosiasi bisa mengambil peran melalui pembentukan konsorsium-konsorsium. Keanggotaan asosiasi niscaya sudah menyentuh hampir semua sentra-sentra industri kecil. Setidaknya anggota asosiasi di suatu kawasan industri akan cukup representatif untuk mengoordinasikan antarpelaku industri kecil setempat. Sudah bukan waktunya lagi pengrajin bersikap manja. Ibaratnya pemerintah sudah menyediakan beras-piring-lauk dan sayuran. Kini momentumnya pengrajin untuk memasak, mengambil sendok, dan menyuapkannya ke mulut.
Oleh: Flo. K. Sapto W.
Penulis adalah praktisi pemasaran, Ketua Bidang Sertifikasi dan Advokasi HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) Soloraya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Bedah Rumah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMudik dan Arus Balik, Fenomena Alamiah yang Unik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler